Thursday 19 August 2010

Menyingkap Makna Ramadhan

Menyingkap Makna dan Hikmah Ramadhan

Oleh: Muhammad Zaini

Tidak terasa Ramadhan kembali tiba. Momentum penuh berkah yang tidak semua orang dapat menemuinya dengan penuh gembira dan menangkap maknanya. Keberkahan dan hikmah yang tersirat di dalamnya begitu melimpah ruah. Semua umat Islam, kaya dan miskin bergembira menyambut datangnya bulan Ramadhan. Beberapa Masjid dapat terlaksana berbagai ragam kegiatan ritual keagamaan, penuh sambutan hangat umat Islam dan antusias. Itu semua hanya dapat dijumpai dan terlihat pada bulan Ramadhan.

Pertanyaannya, apa sebenarnya yang membuat Ramadhan begitu semarak dan bahkan sebagai ladang dan lahan subur tumbuhnya benih kebaikan dan keberkahan. Ia begitu “diistimewakan” dan “disucikan”. Apa yang bisa kita petik dari hikmah Ramadhan dalam kehidupan sehari-hari.

Ramadhan dan Maknanya

Ditilik dari segi bahasa, Ramadhan dalam kamus bahasa Arab (lihat: kamus al-Munawwir) berasal dari bahasa Arab al-Ramadh yang artinya “panas batu akibat sinar matahari”. Ada juga yang mengatakan, Ramadhan diambil dari akar kata ramidha yang berarti “keringnya mulut akibat haus dan dahaga” (Yusuf Burhanudin, 2007: 03).

Melihat makna Ramadhan dari sudut pandang bahasa di atas, ada makna simbolis-filosofis yang terkandung di dalamnya. Al-Qur’an seringkali menggambarkan manusia yang berhati keras dengan menggunakan simbol batu. Hati yang tidak memiliki ruh petunjuk dan kepekaan terhadap orang lain, al-Qur’an mengumpamakan seperti batu keras. Seperti firman Allah SAW., yang artinya :

Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 74)

Dalam bulan Ramadhan, hati manusia yang keras bagaikan batu dapat terobati. Hati yang kaku dan keras terhadap orang lain dan lingkungannya dapat berubah seketika jika ia mau menerima bulan Ramadhan dengan penuh rasa iman dan mengharap ridha-Nya. Ibarat batu keras yang selalu tersentuh panas yang membakar, ia akan berubah membentuk suatu daya kekuatan yang hidup dan dinamis kerana kekuatan panas yang dimilikinya. Ketika sengatan panas membakar batu keras tanpa henti, maka akan menghasilkan gerak dan daya dorong yang luar biasa, sehingga batu itu memanas dan berfungsi mendidihkan air yang dapat bermanfaat bagi orang lain.

Begitu kira-kira perumpamaan hidup berkah di bulan Ramadhan, dilihat dari segi akar katanya. Dengan demikian, berkah Ramadhan dapat membentuk kepribadian manusia dan bermental tangguh. Ramadhan dengan keberkahannya menebarkan pendidikan rohani, sehingga hati yang keras dan kaku menjadi lentur, dan yang lemah menjadi berbinar memancarkan sinar cahaya terang.

Kehadiran Ramadhan berfungsi sebagai pendidikan olah rohani yang dapat menggerakkan dan meneguhkan hati dan pikiran. Di sinilah akan terlihat kekuatan rohani yang terbentuk dari diri dalam manusia seseorang. Ruh Ramadhan adalah membentuk hati penuh kemulyaan dan cahaya. Sinar cahaya Ramadhan yang memancar tercermin dalam diri dan tersemat di dalam hati seseorang, sehingga suasana sempit menjadi lapang, susah menjadi senang, putus asa menjadi berbesar hati. Semua itu tercermin dalam sikap dan tindakan keseharian apabila makna Ramadhan dapat dihayati dengan baik dan dengan hati yang jernih.

Menyelami Hikmah Ramadhan

Ramadhan di samping sebagai ladang dan tumbuh suburnya amal kebaikan, juga mengandung pendidikan olah rohani dan terselip hikmah yang cukup melimpah. Ramadhan dengan amaliah puasa, sekilas seolah menyiksa diri secara fisik dan terasa beban berat, tentu hal itu terjadi karena para pelaku puasa tidak mengenal dan menyelami hikmah yang terkandung di dalamnya.

Dilihat dari segi fungsinya, puasa memiliki sasaran dua dimensi; pertama, membina hubungan dengan Allah SWT. (hablun mina Allah). Di sini puasa disamping secara fisik harus menahan lapar dan dahaga, kita diajarkan untuk untuk meneladani sifat-sifat Allah yang terpancar dan terhayati dalam gerak langkah kehidupan (M. Quraish Shihab, 1996: 532-533). Tujuan penghayatan dan peneladanan terhadap sifat-sifat Allah adalah upaya pelatihan diri untuk menghadirkan Allah dalam praktik kehidupan sehari-hari.

Pelaksanaan ibadah puasa apabila dijalani dengan benar maka secara simultan akan melatih dan mengajarkan kita untuk bergerak dari keadaan yang kurang baik ke keadaan yang lebih baik (Muhammad Rusli Malik, 2003: 14). Di dalam berpuasa, hati kita tergerak secara vertikal dari nafs ammarah (jiwa yang rendah, keras dan cenderung emosional), ke nafs lawwamah (jiwa yang labil) lalu ke nafs marhamah, (jiwa yang penuh kasih sayang) hingga ke posisi puncak yaitu: nafs muthmainnah (jiwa yang tenang, tangguh dan kokoh).

Di sinilah ada suatu jawaban, mengapa Ramadhan bagitu sangat “diistimewakan” dan “disucikan”, karena ia memang berfungsi sebagai pencerah hati yang mengandung unsur pendidikan rohani yang bergerak secara vertikal melalui peneladanan terhadap sifat-sifat-Nya. Sabda hadist Nabi berikut adalah menjadi landasan penting bahwa puasa memiliki daya gerak vertikal-transendental sebagai jalan menuju derajat muttaqin yang secara spesial berkontak langsung dengan Allah SAW. Hadist tersebut artinaya yaitu:

Artinya: "Rasulullah SAW. bersabda: "Seluruh amal perbuatan anak Adam akan dilipatkan pahalanya. Satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan bahkan dapat sampai tujuh ratus kali lipat. Allah berfirman: "Kecuali puasa, ia itu khusus bagi-Ku dan Aku lah yang akan membalasnya secara langsung. Ia meninggalkan syahwatnya, makanannya semata-mata karena-Ku. Orang yang berpuasa itu akan memperoleh dua kebahagiaan: Kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika ia berjumpa dengan Tuhannya kelak. Bau mulut orang yang berpuasa itu di sisi Allah, lebih wangi dari pada wanginya minyak kasturi" (HR. Muslim).

Sasaran puasa yang kedua adalah membangun kekuatan dan empati sosial (hablun mina al-Nas). Prinsip terpenting di dalam agama Islam, bagaimana membangun keseimbangan mental rohani yang termanifestasi dalam gerak dan langkah kehidupan sosial. Hubungan kemanusiaan dalam jejaring sosial diikat oleh rasa empati, sehinga puasa mampu mengasah kepekaan (sensitifitas) sosial yang tinggi yang dapat menjembatani jurang pamisah antara orang kaya dan orang miskin.

Rasa empati yang tertanam dalam diri seseorang sebagai buah dari puasa, melekat di dalam diri setiap orang dan selalu hadir dalam gerak dan ritme kehidupan sosial. Wujud konkritnya adalah tumbuhnya rasa kasih dan sayang bagi orang kaya untuk merasakan dan mengalami penderitaan orang miskin, sehingga terjalin hubungan saling mangasihi dan tergerak hatinya untuk menopang kehidupan dan penderitaan yang mereka rasakan.

Ketika rasa empati sosial sudah terasah dan pembentukan bina rohani telah memancarkan sinar kepekaan batin, maka secara pelan-pelan akan muncul suatu sikap kebiasaan yang mampu mengalahkan kekuatan “ego” yang cenderung menjadi hasrat dominatif dalam diri manusia (Suara Muhammadiyah, 2010 : edisi 15). Membiasakan dan upaya mengalahkan “ego” dan kepentingan “aku” dapat dijembatani dan terkendali, sehingga puasa dapat membentuk kepatuhan dan kesadaran diri untuk mendahulukan kepentingan sosial yang dilandasi kekuatan cahaya batin, penuh ketulusan dan keikhlasan. Semoga bermanfaat.

Thursday 10 June 2010

Konsep Taqwa

Download di sini >>>>>>>>

REVITALISASI "TAQWA" MENUJU PERADABAN BERBASIS PENDIDIKAN MORAL

Oleh : Muhammad Zaini

Sebuah Pengantar

Ada banyak pengertian taqwa dan akhlak dalam literatur agama Islam. Sudah barang tentu pengertian itu tergantung dari mana hendak dilihat dan apa yang menjadi sudut pandangnya. Pemaknaan taqwa dan akhlak jika dikaitkan dengan pendidikan, tentu memiliki makna yang cukup luas, yang terkadang cenderung dipahami dalam arti yang amat sempit. Jika menilik kata taqwa dalam al-Qur’an maupun hadis—terutama hadis yang yang menjadi studi kajian makalah ini—adalah menjadi tujuan segenep prilaku dan praktik ritual apapun. Dalam kaitan ini, mestinya taqwa—dalam arti luas—juga menjadi tujuan pendidikan Islam, beralandaskan nilai moral (akhlak) yang kemudian menjadi sumber inspirasi membangun peradaban dengan tingkat profesionalisme yang tinggi.

Namun, suatu hal yang selalu menjadi masalah ialah sejuah mana konsep taqwa dan akhlak dipahami dengan baik, dan di-konteks-kan untuk menjadi tujuan pendidikan, tanpa harus kehilangan makna dasar dari dua akar kata tersebut. Tulisan ini bermaksud mengkakaji hadits dengan menggunakan dua kata kunci tersebut. Telaah hadits ini, lebih pada telaah matan dari pada sanad hadits, bahkan aspek sanad malah sama sekali tidak disinggung. Dengan pendekatan telaah matan, maka hadits di sini akan dibaca dalam kerangka kontekstualisasi terhadap kandungan hadits tersebut, terutama berkaitan dengan tujuan pendidikan Islam. Adapun teks haditsnya adalah sebagai berikut:

وعن أبي هريرة قال رسول الله صلى عليه وسلم: اكثر ما يد خل الجنة تقوى الله وحسن الخلق. (أخرجه الترمذي وصححه الحاكم)



Pengertian Taqwa dan Akhlak

Akhlak, secara etimologi, berasal dari kata khalq yang berarti budi pekerti, perangai dan tabi’at atau watak. Sedangkan secara terminologi, akhlak adalah suatu sikap yang tertanam dalam jiwa yang dengan mudah melahirkan perbuatan-perbuatan baik tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.[1]

Dari sisi akar kata, akhlak juga berarti penciptaan serumpun dengan kata khalik (pencipta) dan makhluk (yang diciptakan). Kesamaan akar kata ini, mengindikasikan bahwa akhlak memiliki cakupan luas, yaitu mengatur prilaku antara sesama manusia dan Tuhannya, bahkan juga dengan alam semesta. Akhlak di satu sisi terkait dengan status manusia sebagai ‘abd dan sebagai khalifah di sisi lain.[2]

Jika akhlak dipahami sebagai “sikap”, maka pasti ia mengandung karakteristik-karakteristik yang membentuk kerangka psikologi seseorang untuk berbuat dan berprilaku sesuai dengan nilai-nilai yang cocok dengan dirinya dalam kondisi tertentu. Kerangka psikologi tersebut, jika ditumbuh kembangkan secara terus menerus, maka dapat menjadi sumber potensi kecerdasan psikis, kepekaan emosional dan kepekaan lingkungan.[3]

Dengan demikian, akhlak memiliki peranan penting bagi peserta didik yang sedang menjalani proses belajar. Dengan akhlak, peserta didik di samping mengejar kecerdasan nalar (IQ) juga dapat melatih tiga kecerdasan sekaligus yaitu, cerdas secara psikis, emosional dan cerdas lingkungan.

Dengan demikian, peserta didik sejak dini harus telah diperkenalkan betapa akhlak itu merupakan nilai penting dalam kehidupan sehari-hari. Di sinilah sisi penting hadits Nabi Muhammad SAW, yang berbunyi;

وعن أبي هريرة قال رسول الله صلى عليه وسلم: اكثر ما يد خل الجنة تقوى الله وحسن الخلق. (أخرجه الترمذي وصححه الحاكم)

Hadits di atas menegaskan, bahwa taqwa dan akhlak sudah pasti merupakan dua entitas yang berkaitan dan memiliki korelasi secara langsung. Sehingga Nabi tegas mengatakan “Yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam surga ialah taqwa kepada Allah dan budi luhur”. Sedangkan budi luhur itu, sebagaimana ditegaskan oleh Nabi sendiri, merupakan puncak tujuan kerasulan beliau.

Di lihat dari akar kata taqwa berasal dari wqy berarti takut, berjaga-jaga dan melindungi dari sesuatu (wqy really means ‘to guard or protect against something).[4] Semua arti tersebut, sesungguhnya memiliki makna substansi yang sama, tergantung bagaimana menafsirkannya. Arti takut—walaupun menurut pendapat Prof. Izutsu kurang tepat[5]—menurut Fazlur Rahman tetap menemukan relevansinya, dalam arti ketakutan yang mengandung visi eskatalogis, yaitu takut dari akibat-akibat perbuatan yang telah dilakukan oleh dirinya sendiri, di mana hal itu mendorong adanya rasa tanggung jawab, baik di dunia maupun di akhirat. Jadi, rasa takut di sini berbeda dengat takut pada serigala atau yang serupa.[6]

Namun dalam hal ini, Fazlur Rahman lebih cendrung memilih arti yang kedua (berjaga dan melindungi dari sesuatu). Dari arti kedua ini dapat dipahami bahwa taqwa merupakan tindakan perlindungan diri dari segala perbuatan buruk dan jahat( al-Maskhut bih) dengan berpegang pada keseimbangan dan kekokohan moral dalam ‘batas-batas yang teleh ditetapkan Allah’. Sehingga pantas saja kalau kegiatan ritual apapun di dalam al-Qur’an selalu terkait dengan upaya meraih nilai taqwa.[7]

Tentu, taqwa sebagai nilai, tidak bisa langsung terima jadi, melainkan mensyaratkan sebuah proses terus menerus tentang pemulyaan niat, penataan ulang maksud hati dan perjernihan hati yang termanifestasi dalam keindahan prilaku (akhlak mulya).[8] Taqwa dalam ranah ini tidak begitu menghendaki formalisme yang berlebihan.[9] Karena itu, diisyaratkan dalam al-Qur’an bahwa perbuatan baik sebagai buah taqwa, jika dimanifestasikan dalam kepentingan kemaslahatan publik secara wajar, maka akan lebih baik lagi jika dilakukan secara diam-diam.[10]

Dalam kaitan itu, niat, maksud hati dan tujuan yang menjadi prasyarat taqwa adalah tidak bisa berangkat dari ruang kosong. Ketiganya harus selalu disandingkan bahkan tak terlepas dari “konteks” yaitu, konteks persoalan yang sedang dihadapi oleh seseorang secara pribadi, konteks persoalan yang sedang dihadapi oleh umat manusia, konteks persoalan bangsa dan negara, bahkan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan begaitu seterusnya.[11]

Konteks niat, maksud dan tujuan yang menjadi prasyarat taqwa dalam pengembangan pendidikan Islam adalah harus dipahami sebagai upaya untuk selalu mengembangkan dan memperbaiki keadaan yang sedang berjalan. Sebagai pengembangan, tentu konteks tersebut harus diletakkan pada satu tujuan untuk memajukan peradaban manusia secara profesional, sesuai kehendak tuntutan dinamika zaman.

Taqwa dan Akhlak: Tantangan Ke-Khalifah-an dalam Pendidikan Islam

Bersangkaut paut dengan konteks pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan, maka taqwa dan akhlak dari status manusia sebagai ‘abd dan khalifah fi al-ardh. Taqwa dalam konteks ini merupakan kemampuan seseorang menjaga keseimbangan antara posisinya sebagai ‘abd di satu si pihak dan khalifah di pihak lain. Posisi manusia sebagai ‘abd mengandung makna dasar yaitu, ketaatan dan kepatuhan terhadap ajaran, aturan dan nilai-nilai yang terdapat di dalam kitab suci. Ketaatan dan kepatuhan ini, tidak saja dalam arti simbolik melainkan menjadi satu bentuk penghayatan yang melekat dan ter-internalisasi dalam jiwa, sehingga melahirkan apa yang disebut “kedisiplinan transendental”.

Sedangkan posisi manusia sebagai khalifah mengandung makna dasar yaitu, motivasi dan optimisme yang datang dari dalam diri pribadi yang dapat membangkitkan semangat dan menghimpun tenaga yang berdaya kekuatan besar untuk menjalankan tugas bumi, meraih cita-cita besar, luhur dan mulya yang terbingkai oleh keindahan akhlak. Dalam hal ini, akhlak diharapkan menjadi titik penyeimbang antara posisi manusia sebagai abd di satu pihak dan sebagai khalifah di pihak lain. Posisi akhlak yang demikian, dua predikat manusia tersebut, tidak tidak akan pernah redup, bahkan bisa terus menerus hidup secara seimbang. Dengan demikian, semangat ke-khalifah-an manusia macam inilah yang akan melahirkan apa yang disebut-sebut sebagai “etos” kerja.

Dua pilar nilai fundamental di atas, seharusnya melekat dalam jiwa seorang pendidik—tentu dengan pemahaman yang utuh—dan menjadi prasyarat untuk memperoleh derajat taqwa seperti yang diidealkan oleh al-Qur’an. Dua nilai tersebut secara sederhana dapat diringkas menjadi; pertama, kedisiplinan yang teguh, yang meliputi aspek transendental dan horinzontal kedua, kesungguhan menyelesaikan tugas (etos kerja) dengan tingkat profesionalisme yang tinggi .

Selanjutnya, dua nilai di atas, semestinya juga harus melapisi dan menjadi fondasi kuat bagi kemajuan pendidikan Islam. Secara operasional, dua pilar nilai tersebut dapat dikembangkan menjadi sumber daya kekhalifahan (SDK) yang mencakup pembangunan dalam berbagai aspeknya. Yaitu, pengembangan SDM yang bertujuan membina potensi untuk meningkatkan kompetensi diri ke arah suksesi tugas kekhalifahan di bumi, yang kemudian diimbangi dengan upaya meng-creat secara inovatif model-model pengembangan SDM di bidang pendidikan Islam.[12]

Pengembangan SDM dimaksudkan untuk mewujudkan manusia seutuhnya untuk menyukseskan tugas kekhalifahan. Artinya, pengembangan SDM tidak saja terbatas pada upaya peningkatan kinerja institusional sentris. Tetapi setiap SDM ditujukan untuk mempertajam talenta dirinya dengan semangat hidayah Allah SWT., dengan tidak mengabaikan dan mengurangi aspek kualitas kerja yang lebih optimal dan profesional.[13] Dengan begitu, perguruan tinggi, sekolah-sekolah dan balai pendidikan tidak hanya sekadar mengajarkan agama pada aspek ritual saja, melainkan juga harus peduli pada peningkatan kualitas dalam rangka penegakan disiplin pribadi, disiplin sosial-masyarakat, dan disiplin sosial beragama,[14] yang kemudian menjadi nilai kulural di berbagai balai-balai pendidikan.

Berbagai lembaga pendidikan, secara lebih luas berupaya meningkatkan tingkat peradaban dan kebudayaan, yang disertai kadar bobot etika yang lebih besar. Kadar bobot tersebut, lebih lanjut diupayakan menjadi penegakan kode etik profesionalisme sebagai tindak lanjut pengembangan SDM yang lebih optimal dan memadai. Dalam hal ini, pengejewantahan etika profesionalisme adalah memiliki nilai muatan normatif dan aspiratif, dengan kadar prioritas tertentu. Yaitu, pertama, mengutamakan hasil kerja yang sesuai dengan tujuan atau sasar prestasi, kedua, bekerja berdasar otonomi keahlian, ketiga bekerja dengan kode etik yang jelas, keempat bekerja dengan prinsip-prinsip manajemen modern, kelima, bekerja dengan dukungan komitmen yang tinggi terhadap tugas.[15]

Dapat dipahami, bahwa manusia sebagai khalifah Allah di bumi memiliki tanggungjawab moral untuk meraih resolusi problem peradaban kemanusiaan, yang kemudian juga manjadi tugas dan tujuan pendidikan Islam. Karena itu, pendidikan tidak bisa tidak harus bisa mengantarkan manusia pada arah yang lebih berbudaya dan beradab. Pendidkan dalam pengertian ini, secara visioner diarahkan untuk memperbaiki dan memulihkan aset-aset agama dan budaya yang telah mengalami pencemaran, pembusukan, dan perusakan.[16] Kaitannya dengan kemajuan sebuah lembaga pendidikan, aspek budaya dan peradabaan harus menjadi bagian penting dalam mewarnai sektor pendidikan .

Meretas Dikotomi Ilmu

Dalam konteks yang lebih luas, taqwa, akhlak (moral/etika), dan fungsi abd dan khlaifah juga bisa menjadi landasan untuk menepis adanya dikotomi ilmu pengetahuan yang selama ini masih saja melapisi lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Jika berjangkar pada dua nilai fundamental di atas, disamping secara ilmiah-akademis sulit dapat dipertanggungjawabkan, dikotomi ilmu pengetahuan berarti merusak keseimbangan fungsi manusia sebagai ‘abd di satu sisi dan khalifah di sisi lain.

Jelas, bahwa ‘abd sebagai sumber inspirasi spritual transendental tidak boleh berhenti dalam satu lingkup lingkaran pemahaman saja, tetapi harus memiliki titik lanjut ke arah peran khalifah sebagai bentuk tanggung jawab moral atas berbagai ragam dan kompleksitas kehidupan yang selalu berkembang dan berubah. Manusia sebagai satu elemen penting penyangga pendidikan Islam dalam konteks perannya sebagai ‘abd dan khalifah tentu harus menunjukkan satu kasatuan atau integritas ilmu dan keterkaitan satu sama lain yang dibingkai dengan nilai akhlak sebagai monitoring terhadap adanya kemungkinan cacat moral yang ditimbulkan dari berbagai cabang ilmu yang ada.

Sayyed Hossein Nasr misalnya, berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dalam Islam sesungguhnya berdasarkan ide kesatuan transenden yang merupakan jantung kewahyuan dalam Islam, untuk menunjukkan kesatuan dan keterkaitan semua yang ada. Sehingga dalam merenungkan kesatun kosmos, manusia mampu mencapai kesatuan prinsip ketuhanan yang utuh dan komprehensif.[17] Menurut Fazlur Rahman kesatuan prinsip itu dapat diperoleh melalui pemahaman integral atas tiga konsep kunci yang terdapat di dalam al-Qur’an yaitu, iman, taqwa dan Islam.[18]

Menurut Azyumardi Azra, sejauh menyangkut ilmu pengetahuan, tantangan terkini bagi umat Islam, paling tidak ada dua hal. Pertama, ilmu-ilmu yang terpisah dari nilai-nilai moral-spritual dalam beberapa hal diharamkan, bahkan dianggap mengancam masa depan umat manusia dan eksistensi alam semesta. Kedua, marginalitas ilmu-ilmu berhadapan dengan yang disebut “ilmu-ilmu agama”.[19]

Menyikapi dua hal di atas, memerlukan alat peredam ampuh yang salah satunya dengan upaya memasukkan nilai-nilai keagamaan dan moral-spritual, sehingga ilmu-ilmu tersebut dapat membawa manfaat sepenuhnya bagai umat manusia dan alam semesta. Di samping itu, upaya yang harus dilakukan adalah membawa ilmu-ilmu ke dalam mainstream perspektif Islam secara utuh. Di sinilah, rekonsiliasi dan reintegrasi antara dua rumpun keilmuan—ilmu-ilmu yang berasal dari al-ayah al-qur’aniyah dan yang berasal dari al-ayah al-kauniyah—dimungkinkan terjadi, yang berarti kembali pada kesatuan transenden semua ilmu pengatahuan.[20]

Pemahaman semacam ini jelas bergantung penuh pada sistem pendidikan yang memberikan ruang transmisi dan implantasi ilmu pengetahuan dalam sebuah sikap yang terpadu dan holistik. Sistem pendidikan Islam seharusnya menekankan seluruh ilmu keagamaan sekaligus juga mencakup semua bentuk ilmu pengatahuan dan sains. Maka tentunya, integritas ilmu jelas berpijak pada keyakinan sebagai buah dari iman dan pengetahuan yang menyeluruh sebagai buah dari taqwa serta amal saleh yang bersamangat moral (akhlak) sebagai aksi nyata dalam kehidupan.

Catatan Penutup

Pada akhirnya, ketika predikat ‘abd dan khalifah dapat terpenuhi dengan baik, maka segera akan meraih yang disebut jannahsebagaimana disinyalir dalam hadits di atas—sebagai nilai aksiologis taqwa dan akhlak. Taqwa yang berarti menjaga keseimbangan posisi sebagai ‘abd dan khalifah yang berpangkal pada lahirnya kedisiplinan, etos kerja dan motivasi kuat yang dilapisi oleh kekuatan moral (akhlak mulya), maka sudah barang tentu menusia mengemban tugas untuk selalu bekerja memperbaiki keadaan yang sedang berjalan untuk memajukan peradaban manusia secara profesional.

Dalam kerangka kemajuan peradaban itulah, makna jannah dalam hadits di atas menemukan relavansinya. Jannnah, dalam konteks kini tidak saja merupakan aspek eskatalogis yang penuh dengan janji-janji imajiner yang lintas dalam dunia khayal, melainkan upaya terus-menerus memacu aspek kemajuan peradaban keilmuan yang semestinya terjelma dalam sistem pendidikan Islam, sehingga dapat menghasilkan anak peradaban yang produktif dan maju.



[1] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, (Bairut: Dar al-Fikr, 1989), Jilid III, hlm. 58

[2] Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, Cet. Ke-5, (LPPI: Yogyakarta, 2002 ), hlm. 01

[3] Ali Abdul Halim Mahmud, al-Tarbiyah al-Khuluqiyah, (Akhlak Mulia), (Gema Insani: Yogyakarta, 2004), hlm. 27

[4] Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur’an, (Minneapolis: Bibliatheca Islamica, 1999), hlm. 29

[5] Menuru Prof. Izutsu tidak tepat taqwa diartikan takut, karena arti ‘takut’ memiliki istilah sendiri di dalam al-Qur’an yang disebut khasyyah (al-Nisa’/4:|9). Dalam hal ini Izutsu tidak mengganti taqwa dengan kata yang ekuivalen. Hanya saja Mohammad Marmanduke dalam terjemaham The Glorious Qur’an bertolak atas kesimpulan Izutsu memberikan keterangan taqwa sebagai, who ward off (evil) (orang yang menangkal kejahatan). Sedangkan Mirza Nashr Ahmad, dalam terjemahan The Holy Qur’an-nya, menterjemahkan muttaqi dengan the righeous (orang yang lurus dan budiam). Lihat, Dawam Rahardjo, Ensiklopedi alQur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, (Paramadina: Jakarta, 2002), hlm. 154-159

[6] Fazlur Rahman, Ibid, hlm. 29

[7] Lihat, al-Hajj, (Q.S. [2]: 27 dan 183), Ali Imran, (Q.S. [3]: 134)

[8] Amin Abdullah, Kesadaran Berkurban Sebagai Nilai Dasar Untuk Perolah Kemajuan Peradaban, ( Teks Khutbah Idul Adha Masjid UIN Sunan Kalijaga: tidak diterbitkan, selasa, 10 Januari 2006), hlm. 7

[9] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan,Kemanusiaan, dan Kemodernan, (Paramadina: Jakaerta, 2000), hlm. 45

[10] Lihat, al-Baqarah, (Q.S. [2]: 271)

[11]Amin Abdullah, Ibid, hlm. 7

[12] M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, (Mizain: Bandung, 2000), hlm. 217

[13] Usman Abu Bakar, Pengembangan SDM di PTAIS, (makalah tidak diterbitkan), hlm. 7

[14] Amin Abdullah, Ibid, hlm. 8

[15] Supardi, Manajemen Profesional Perguruan Tinggi, (Jurnal Siasat Bisnis, Th. I Vo. 2, FE UII, Jogjakarta, 1996), hlm. 27

[16] A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, (PT. Raja Grafindo Parsada: Jakarta, 2005), hlm. 158-161

[17] Azyumardi Azra, Reintegrasi Ilmu-ilmu Dalam Islam, dalam Editor: Zainal Abidin Baqir, Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Adsi (Mizan: Bandung, 2005), hlm. 209

[18] Fazlur Rahman, "Hukum dan etika Dalam Islam", dalam al-Hikmah, (No. 9 April – Juni, 1993) hlm. 48

[19] Azyumardi Azra, Ibid, hlm. 210

[20] Azyumardi Azra, Ibid, hlm. 211