Thursday 27 May 2010

Islam dan Tantangan Modernitas

Islam dan Tantangan Modernitas

Oleh : Muhammad Zaini

Pendahuluan

Para pemikir keisalaman tidak henti-hentinya melakukan suatu pembacaan terhadap Islam. Mula-mula Islam hanya mengenal dua corak pemikiran yang populer, yakni pemikiran Islam yang bercorak “modernis” dan bercorak “tradisionalis”. Dalam bentang perjalanan sejarah tipologi pemikiran Islam tersebut berkembang sedemikian rupa. Sebagai contoh, Sayyed Hossein Nasr mengklasifikasi empat tipologi pemikiran Islam kontemporer, yaitu modernism, tradisionalism, fundamentalism, dan mahdiisme.

Dalam makalah ini tidak bermaksud manjelaskan secara rinci perekembangan tipologi pemikiran Islam. Suatu hal yang perlu dicatat bahwa prototip pemikiran Islam yang demikian variatif tersebut tidak lain dan tidak bukan merupakan salah satu bentuk respon intelektual keagamaan Islam dalam menyikapi budaya modernitas dan tantangannya. Islam dalam realitas konkrit ternyata berkembang dengan deret ukur pekembangan modernitas bahkan dengan perkembangan ilmu dan tehnologi.

Bagaimanapun tidak bisa dipungkiri, cepat atau lambat budaya modernitas akan menyusup ke segala wilayah kehidupan, bahkan juga menyentuh terhadap pemikiran keislaman. Suatu sikap yang absurd apabila Islam dipertentangkan dengan gajala modernitas.

Tantangan konkrit yang mesti dihadapi oleh umat Islam adalah berkaitan dengan apa yang ada dibalik modernitas yang cenderung lebih menawarkan pilihan-pilihan yang serba dilematis. Di antaranya yaitu, pertama, konsumerisme, kedua, aliansi, ketiga marjinalisasi, dan keempat, ketidakadilan. Empat elemen ini, di samping akibat langsung dari gejala modernitas, juga merupakan tantangan baru bagi upaya pengembangan Islam ke arah yang lebih maju.

Kesadaran adannya asumsi bahwa modernitas dapat mengikis “sense of religion” adalah tantangan tersendiri bagi keberagamaan umat Islam. Dalam hal ini umat Islam—paling tidak—tertantang untuk meluaskan cara pandang keagamaan agar tidak mudah mengambil keputusan secara gegabah dalam menghadapi gejala-gejala baru, terutama yang berdampak langsung pada kemajuan Islam.

Islam, Ajaran dan Konteks

Pada prinsipnya Islam secara tautologis tidak mengenal label-lebel apapun, seperti adanya penyebutan Islam tradisional, Islam modern dan bahkan Islam liberal.[1] Islam sejatinya ya Islam yang bisa dipahami secara rasional dan berlaku di tempat mana pun.[2] Namun, ketika Islam bersentuhan dengan pemahaman umat yang begitu beragam, lalu muncul label-label Islam yang sesungguhnya berakar pada bagaimana melihat bangunan Islam itu sendiri. Persoalannya adalah bagaimana memahami Islam itu berkecakupan luas, agar tidak terjebak pada pelabelan Islam yang cenderung ada kesan pengkotakan itu. Apakah Islam memberikan peluang bagi berlangsungsnya perubahan dalam beberapa pandangan keagamaan berhadapan dengan tantangan modernitas, dan adaptasinya terhadap lingkungan temporal dan spesial dalam ruang waktu dan tempat yang berbeda-beda.

Di sini, Islam dituntut untuk tidak sekadar mengandalkan definisi formalistik, tetapi dibutuhkan penggalian pemahaman yang menekankan pada nilai-nilai yang secara embrional menjadi acuan ajaran Islam. Prinsip-prinsip nilai itu, kemudian ditubuhkan pada segenap derap produk zaman. Konteks inilah sesungguhnya yang melahirkan upaya pemahaman Islam yang kontekstual oleh berbagai para intelektual, terutama mereka yang memperoleh pendidikan di Barat.

Terlepas dari pemahaman kontroversial tentang ide Islam kontekstual, suatu hal yang perlu dipahami adalah bahwa Islam secara historis-sosiologis lahir dalam konteks masyarakat parokhial atau regional yang wilayah jangkaunya tidak sekompleks kini, seperti yang dijumpai sekarang. Apa yang menjadi aturan formal-legal dalam seuatu ajaran, dilihat dalam kerangka tujuan etisnya, yaitu menegakkan keadilan dan kemashlatan universal manusia sesuai kondisi (dhuruf) yang melingkupi.[3]

Dengan demikian, eksistensi masyarakat dewasa ini yang telah hidup dalam ruang dan waktu yang jauh berbeda dan lebih kompleks, tetap saja menemukan kecocokannya tanpa harus mengorbankan sisi-sisi kreativitasnya dalam mengakses kemajuan zaman. Prinsip kontekstualitas adalah dalam rangka menegaskan pemberian bobot lebih besar terhadap apa yang terdapat dibalik sebuah aturan formal dari pada aturan yang berupa doktrinasi itu sendiri. Aturan formal yang dicanangkan oleh Islam semata-mata dipahami sebagai cara atau wasilah untuk mencapai tujuan, yaitu tegaknya keadilan dan kemashlatan umat.

Dalam konteks terapannya, segala sesuatu yang menjadi hasil dari produk gerak dinamika zaman, berupa kekayaan keragaman di berbagai aspek, misalnya bangunan sosial yang mulai lebih terbuka (open society), tradisi, adat, kreasi dan agama, maka selalu dapat dipahami melalui prinsip kontekstual tadi. Di sinilah, Islam dan modernitas menemukan satu titik temu yang bisa saling melengkapi satu sama lain. Walupun Islam turun pada 14 abad yang silam, tetapi senantiasa memiliki relevansi dengan konsdisi masyarat masa kini.[4]

Karena itu, term Islam dan modernitas sesungguhnya memiliki jalinan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Kendati Islam dan modernitas merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi dalam perjalanannya satu sama lain tidak dipahami secara terpisah. Bagi Fazlur Rahman, jika Islam dibiarkan begitu saja seperti pada masa awal, maka Islam selalu akan dililiti oleh apa yang disebut “multi krisis”.[5] Bagaimana tidak demikian, Islam yang lahir empat belas abad yang silam, lalu secara polos hendak dihadapkan pada suatu kondisi zaman yang selalu lekat dengan arus akselarasi modernitas yang kian hari perkembangannya tidak dapat dibendung.

Islam dan Modernitas

Nurcholish Madjid, melihat bahwa modernisasi identik dengan pengertian rasionalisasi. Aspek rasional ini oleh Nurcholish Madjid dijadikan cara pendang baru untuk memahami Islam. Rasionalisasi dalam Islam berarti proses perombakan pola berpikir dan tata kerja yang tidak rasional, dan menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang rasional. Jadi, modernisasi merupakan satu pendekatan untuk memahami Islam agar bersentuhan dengan penemuan mutakhir manusia dibidang ilmu pengetahuan sebagai hasil dari moderniatas.[6] Di sini Islam berhadapan dengan tantangan-tantangan baru, yang secara otomatis harus bersedia memberikan berbagai ragam alternasi yang benar-benar solutif.

Selanjutnya, suatu hal yang mesti diemban oleh Islam adalah tanggung jawab untuk selalu peka menangkap persoalan zaman, di mana pun ia berada, sekaligus memberikan jawaban yang tepat dan tuntas. Keniscayaan modernitas sama sekali tidak bisa dipungkiri, karena ia merupakan fitrah kreatifitas manusia dalam mencari alternasi-alternasi kehidupan yang serba kompleks. Modernitas sebagai penawar alternatif, tentu harus dipahami sebagai kelanjutan wajar dan logis bagi perkembangan sejarah kehidupan manusia.

Sebagai kelanjutan sejarah manusia, maka modernitas merupakan sesuatu yang inhern dalam sejarah perkembangan Islam. Islam dan modernitas dalam tingkat pemahaman menjadi sesuatu yang integral dan tidak untuk dipertentangkan, melainkan satu sama lain untuk saling melengkapi. Yang dimaksud Islam memiliki cakupan rahmatan lil ‘alamin, adalah bahwa Islam harus bisa ditampilkan dalam konteks zaman mana pun, dan dapat menyelamatkan siapa saja.[7]

Modernitas sebagai gejala global tentu tidak lepas dari persinggungannya dengan dunia luar—dalam hal ini dunia Barat sebagai kiblat dunia modern—yang dipandang telah mengawalinya dari titik nol. Walaupun demikian, tidak berarti bangsa-bangsa lain yang menirunya dipandang “kebarat-baratan”, tetapi hanya sekadar adopsi untuk dikembangkan secara kreatif.[8] Dalam hal ini, kaidah “al-Muhafadzatu ala qadim al-Sholih wa al-Akhzdu ala jadid al-Ashlah”, menemukan relevansinya dengan konteks modernitas.

Islam dan tantangan modernitas adalah tidak lepas dari upaya melihat kembali akar sejarah awal Islam yang menyertai kehidupan kaum Muslim sedunia. Disadari atau tidak, Islam tidak serta merta turun dalam ruang hampa, tetapi ada konteks yang selalu melingkupi. Dalam hal ini, Marshal Hodgson—sebagaimana dikutip oleh Nurcholish Madjid—menulis:

Modal potensial Islam yang paling besar adalah kesadaran historisnya yang jelas, yang sejak semula mempunyai tempat begitu besar dalam dialognya. Sebab, kesediaan mengikuti dengan sungguh-sungguh bahwa tradisi agama terbentuk dalam waktu, dan selalu mempunyai dimensi historis, membuat agama itu mampu menampung ilham baru apa pun ke dalam realitas dalam warisan dan dari titik-tolak mulanya yang kreatif, yang dapat terjadi lewat penelitian ilmiah atau pengalaman keagamaan baru.[9]

Bagi Fazlur Rahman, Islam jika tidak disandingkan dengan gejala modernitas, maka akan mengalami krisis, dan bahkan kejumudan. seiring dengan munculnya tantangan akselarasi dunia modern yang tak dapat dibendung. Krisis ini begitu sangat dirasakan, karena Islam mengemban tugas untuk selalu memberikan jawaban secara tuntas. Di masa krisis ini, Islam selalu menghadap persoalan irrelevansi dengan tuntutan dan perkembangan zaman, yang sudah barang tentu memerlukan jawaban.[10]

Untuk itu, Fazlur Rahman dalam karyanya Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition, mengemukakan bahwa Islam dewasa ini mengalami banyak problem. Diantaranya, tidak adanya integrasi atara kajian keagamaan dan ilmu-ilmu moderen. Sejauh ini, Islam bisa dikatakan kehilangan kreativitas intelektualnya, sehingga keilmuan Islam tidak mampu memecahkan problem yang dihadapi umat Islam dan manusia secara umum. Hal itu disebabkan oleh belum mampunya umat Islam melakukan integrasi antara nilai Islam dan aspek moderinitas.[11] Keduanya masih dianggap sebagai satu entitas yang cenderung dipertentangkan, bukan disandingkan secara padu dan utuh.

Dalam kerangka itu, Fazlur Rahman menekankan adanya pembedaan yang jelas antara Islam normatif dan Islam historis. [12] Islam normatif adalah ajaran-ajaran al-Qur’an dan Sunnah yang hidup berupa nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip dasar, sedang Islam historis adalah penafsiran yang dilakukan terhadap ajaran Islam dalam bentuknya yang beragam. Dalam persepektif itu, Islam normatif diyakini sebagai sesuatu yang bernilai abadi dan dituntut untuk selalu menjadi rujukan dalam keberagaman umat Islam. Sedangkan Islam sejarah merupakan pemahaman kontekstual yang dilakukan para umatnya sepanjang sejarah. Kerenanya, Islam historis ini harus selalu dikaji dan direkonstruksi melalui cahaya nilai-nilai moral al-Qur’an dan Sunnah Nabi.[13]

Mengikuti pemahaman sebagaimana yang diungkap Rahman, menempatkan Islam adalah agama yang berlaku di mana saja, dan melewati batas waktu dan zaman, dapat menjadi impian yang benar-benar nyata. Dalam hal ini, Islam tidak bisa didefinisikan sekadar dalam batas-batas formal. Lebih dari itu, Islam harus dipahami sebagai ajaran yang memiliki prinsip nilai-nilai universal yang membutuhkan realisasi dalam realitas konkrit.

Pemhaman ini semakin meneguhkan keyakinan bahwa Islam bagaimanapun tidak bisa lepas dari gejala-gejala modernitas. Sebab, Islam dipisahkan dari persinggungan dengan kondisi riil yang berkembang di suatu konteks sosial tertentu sangat mustahil dan bahkan mungkin tidak akan pernah terjadi dalam dunia sejarah. Jika Islam mesti bersentuhan dengan dunia nyata, maka Islam tentunya harus mengikuti naturalits zaman selalu bergerak mengiringi dinamika kemajuannya. Islam dengan segenap isinya pun demikian.

Pada titik ini, boleh jadi Islam pada tingkat tertentu secara sederhana dipahami sebagai milik masa lalu, bahkan lahir dan besar pada masa lalu. Pemahaman ini tidak berarti salah, tetepi cara pandang ini masih memandang Islam sebagai kumpulan doktrin teologis-apologetik. Namun demikian, mungkinkah Islam bisa berkembang dan bertahan dengan cara pandang macam ini? Tentu secara rasional tidak. Maka, sekalipun modernitas seolah-oleh milik masa kini, mestinya dapat diresposn secara dialektis, tidak untuk dipertentangkan.[14]

Maka jalan satu-satunya agar Islam tidak selalu tertinggal adalah menampilkan corak penafsiran baru. Paling tidak ada terdapat dua penafsiran untuk menuju ke arah itu. Pertama, penafsiran Islam yang non-literal, substansial, kontekstual, dan sesuai dengan peradaban Islam yang sedang berkembang. Kedua, model penafsiran yang memisahkan unsur-unsur yang merupakan hasil kreasi budaya setempat, dan unsur-unsur yang merupakan nilai-nilai fundamental atau prinsip-prinsip abadi. Ketiga, umat Islam tidak hendaknya tidak memandang dirinya sebagai “masyarakat” atau “umat” yang terpisah dari golongan lain. [15]

Namun demikian, modernisasi dengan segenap gejala-gejala barunya tidak hanya dilihat segi positifnya saja. Lebih dari itu, gejala modernitas harus dibaca secara kritis agar tidak terjebak pada budaya “kebarat-baratan”, dan pengabaian pada nilai dasar dan moralitas keislaman. Semangat moral dan kemashlahatan yang menjadi ruh ajaran Islam selalu dijadikan acuan dalam menghadapi tantantan modernitas yang kian hari semakin menunjukkan dinamikanya.

Penutup

Kepenganutan terhadap Islam yang bersifat transformatif-akomudatif-substantif, sudah saatnya mengambil tindakan konkrit praktis dalam wujud perjalanan kehidupan manusia. Sebaliknya, kepenganutan terhadap Islam yang idoelogis-formalis sudah mestinya tidak begitu ditonjolkan dan dihadapi lebih kritis, karena akan mudah terjebak pada suatu pemahaman yang tidak akomudatif dan terlepas dari pertimbangan kemashlatan kemanusiaan universal.

Mesti disadari bahwa beragama dalam dunia modern meniscayakan adanya kesediaan untuk menerima pengalaman-pengalaman baru dari mana pun datangnya. Sebab secara natural manusia dikarunai kemampuan nalar untuk selalu berkembang dan melakukan rencana-rencana baru. Maka secara otomatis kehadiran modenrnitas sesungguhnya bukan merupakan ancaman bagi Islam. Di satu sisi dampak yang sering dirasakan oleh umat Islam bahwa gejala modernitas sebagai buah peradaban modern mengalami banyak problem. Di antranya, konsumerisme, gengsi, ketidakadilan, kekerasan, aliansi, dan marjinalisasi. Sederet dampak modernitas ini tidak sejalan dengan semangat Islam.

Maka yang sangat mendesak untuk dilakukan adalah pertama, adanya perubahan sikap keberislaman yang lebih inklusif, kedua, mengedepankan prinsip-prinsip abadi yang melandasi seluruh struktur keberagamaan, ketiga, mentalitas dan kematangan psikologi yang mumpuni, keempat, berkesadaran tinggi akan dimensi kemanusiaan untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang terjadi dalam era modernitas. Dengan demikian apapun jenis perubahan tetap selalu direspon, dengan catatan tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar/prinsip-prinsip abadi al-Qur’an dan Sunnah yang memiliki semangat shalihun li kulli zaman wa makan.



[1] Munculnya istilah Islam tradisional dan Islam modern bermula dari gagasan kaum Islam puritan dari komunitas Islam perkotaan dengan melakukan wacana stigmatik terhadap komunitas Islam Desa. Menurut Nur Kholik Ridwan, pengkaitan istilah Islam tradisional terhadap komunitas Islam Desa di satu pihak dan Islam Modern terhadap komunitas Islam kota di pihak lain, secara konseptual tidak jelas benar. Terbukti stigma istilah tersebut, dalam perjalanan sejarahnya dengan sendirinya telah mengalami anomali, yaitu komunitas Islam Desa yang diklaim sebagai penganut Islam tradisional dari segi pemikiran keislaman selangkah lebih maju dari pada komunitas Islam kota yang nota bene Islam modern. Islam liberal yang lekat dengan pemikiran progresifnya adalah bentuk derivasi dari komunitas Islam Desa (agraris). Lihat, Nur Kholik Ridwan, Islam Borjuis dan Islam Proletar Konstruksi Baru Masyarakat Indonesia, (Galang Press: Yogyakarta, 2001), hlm. 147-148

[2] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik, (Paramadina: Jakarta, 1996), hlm. 88

[3] Masdar Mas’udi, Agama Keadilan Risalah Zakat (Pajak) Dalam Islam (P3M: Jakarta, 1993), hlm. 108

[4] Komaruddin dan Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Persepektif Filsafat Perennial, (Paramadian: Jakarta, 1995), hlm. 114

[5] Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Moderniatas

[6] Budy Munawar Rachman, Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Paramadina: Bandung, 2001), hlm. 296

[7] Mohammad Sobary, Diskursus Islam Sosial Memahami Zaman Mencari Solusi, (Zaman: Bandung, 1998), hlm. 114

[8] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, (Paramadina: Jakarta, 2000), hlm. 452

[9] Nurcholish Madjid, Ibid, hlm. 460

[10] Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer (Mizan: Bandung, 2000), hlm. 56

[11]Abd. A'la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia, (Jakarta: Mizan, 2003), hlm. 53

[12] Fazlur Rahman, Islam and Modernity transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1984), 141

[13] Abd. A'la, Ibid, hlm. 69

[14] Mohammad Sobary, Ibid, hlm. 98

[15] Ulil Abshar Abdalla, Meyegarkan Kembali Pemahaman Islam, (Kompas, 2002)

Sunday 23 May 2010

Ada Seseorang di Kepalaku

Download Di sini>>>>>>

Friday 21 May 2010

Talk Show

Talk Show bersama Ananda Fitriyan

By: Muhammad Zaini

Sungguh terharu dan senang rasanya melihat anak berprestasi. Sebagai orang tua dan guru, menyaksikan anak didiknya berprestasi pasti mengembirakan. Begitu kira-kira suasana acara talk show yang berlansung di SMP Muhammadiyah 1 Gombong yang dihadiri oleh ananda Fitriyan Dwi Rahayu peraih nilai tertinggi UN tingkat Nasional di Jawa Tengah. SMP Muhammadiyah 1 Gombong sengaja mengundang ananda Riyan (Fitriyan) untuk berbagi pengalaman tentang kesuksesannya meraih nilai tertinggi UN 2010. Kehadiran ananda Riyan di SMP Mugo didampingi oleh Bunda tersayang Sukarni Mugi Rahayu, yang juga berperan serta dalam mengantarkan si buah hatinya ke gerbang kesuksesan.

Acara berlansung , kurang lebih pada jam 09.00 WIB. disaksikan oleh semua guru dan keryawan dan siswa siswa SMP Mugo kelas VII, VIII, dan IX. Perjalanan acara berlangsung baik dan tertib. Siswa- siswa SMP Mugo menyambut acara talk show tersebut dengan penuh riang, senang dan suka cita. Tentu harapan seperti yang disampaikan oleh Bapak Kepsek SMP Mugo T. Al Maftuh, BA., kesuksesan ananda Riyan tertular pada siswa-siswi SMP Mugo mengahadapi UN tahun depan 2011.

Formula acara talk show dikemas dalam bentuk dialog, yang dibagi atas empat termin. Pada termin ke-1—3 diberikan kepada siswa-siswi, yang kemudian pada termin ke-4 beberapa pertanyaan juga disampaikan oleh Bapak dan Ibu guru SMP Muhammadiyah 1 Gombong. Dalam penuturan dan jawaban yang disampaikan ananda Riyan, yang juga turut disampaikan oleh ibunda tersayangnya, bahwa kesuksesannya tidak terlepas dari tiga hal pokok sebagai berikut :

1. Motivasi

Motivasi—sebagaimana tulisan saya sebelumnya diblog ini—adalah modal dan gerbang utama menuju pintu kesuksesan. Kekuatan motivasi di dalam diri ananda Riyan memancarkan kobaran api semangat untuk selalu bekerja keras dan sungguh-sungguh dalam belajar. Motivasi di samping datang dari kesadaran diri, tentu juga datang dari berbagai pihak antara lain, motivasi dan dukungan kedua orang tua, pihak civitas akademika sekolah, dan tak kalah pentingnya lingkungan keluarga yang kondusif bagi proses pembelajaran di rumah.

Suatu hal yang menarik, motivasi untuk sukses menempuh UN,tutur ananda Riyan juga terinspirasi oleh beberapa novel karya Andrea Hinata (Laskar Pelang, dan Sang Pemimpi), sehingga ia lebih terpacu untuk membangun mimpi-mimpi kesuksesan meraih masa depan.

2. Minat Belajar

Dalam hal ini, ananda Riyan benar-benar memiliki minat belajar, yang didukung pula dengan minat baca yang cukup tinggi. Bagi ananda Riyan membaca merupakan faktor penunjang untuk menciptakan rasa suka belajar, karena bagaimanapun—tutur ananda Riyan—membaca dapat membuka wawasan dan pengetahuan baru. Dalam hal ini, sesuatu yang harus dilawan adalah berbagai ragam godaan yang dapat menghilangkan semangat belajar. Hal yang paling sederhana adalah menjaga jarak dengan tontonan televisi, yang tujuannya untuk memelihara dan memjaga kesenangan untuk selalu membaca.

3. Lingkungan Keluarga

Sukarni Mugi Rahayu, Ibunda ananda Riyan juga mengakui, bahwa kesuksesan putrinya terkait erat dengan lingkungan dan iklim pembelajaran yang amat kondusif. Kesehariannya selalu berada dalam pengawasan dan kontrol orang tua. Kedua orang tua ananda Riyan benar-benar mampu menjadi guru dan sumber ketauladanan bagi anak-anaknya dirumah.

Bagi Ibu Sukarni, contoh dan ketauladan selama dirumah harus menjadi rujukan anak-anaknya. Kalau orang tua memerintah anak-anak belajar, tentu orang tua juga harus berperan serta dalam proses belajar, dan sebisa mungkin menjadi teman belajar bagi anak-anak di rumah.

Di samping itu, sekecil apapun anak juga harus dikasih penghargaan (reward) atas komitmen dan target-target kesuksesan yang diraihnya. Menciptakan lingkungan keluarga yang mendukungan atas berberlangsungan proses pembelajaran jauh lebih penting dari pada sekadar “asal perintah” tetapi tidak ada unsur ketauladanan yang mengarah pada motivasi dan dukungan pembelajaran anak-anak.

Wednesday 19 May 2010

Motivasi Menulis

Motivasi Menulis, Mungkinkah?

Oleh: Muhammad Zaini

Motivasi adalah modal utama untuk memulai segala sesuatu. Hidup selalu seiring dengan seberapa kuat luapan motivasi yang terpendam di dalam diri seseorang. Pertanyaannya, apa motivasi itu. Bagaimana kaitannya dengan dunia penulisan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “motivasi” didefinisikan “sebagai dorongan yang timbul pada diri seseorang sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu.”

Definisi motivasi di atas, sebenarnya cukup memadai untuk mengkorelasikannya dengan dunia kepenulisan. Menulis—disadari atau tidak—merupakan dorongan yang datang dari diri manusia berupa gagasan, ide, inspirasi dan setumpuk pengalaman yang tak terbendung, sehingga mendorong seseorang untuk meluapkan dan menuangkan dalam bentuk tulisan. Media kepenulisan adalah salah satu sarana strategis dan representatif untuk menuangkan gagasan dan buah pikiran.

Motivasi yang merupakan dorongan terdalam di dalam diri manusia, semestinya dapat membentuk kekuatan untuk merangkai kata dan selalu terdorong untuk menuangkan dalam bentuk tulisan. Jadi, keterampilan menulis sesungguhnya bagian dari naturalitas yang sangat lekat dengan potensi manusia.

Menurut M. Mushthafa—mahasiswa pasca sarjana di Belanda, dan penulis di berbagai media massa—proses menulis secara perlahan, dapat membentuk karakter dan cara berpikir seseorang. Lebih lanjut M. Mushthafa menegaskan bahwa proses menulis tidak saja dalam pengertian cara seseorang bernalar atau menyusun alur dan logika, tetapi mungkin juga memengaruhi cara seseorang memandang suatu hal atau persoalan.

Persoalannya, bagaimana motivasi di dalam diri seseorang dapat mendorong menuangkannya dalam bentuk tulisan. Seorang pemula harus memiliki keyakinan atas kerja ataupun karya yang digarapnya. Ia harus memiliki suatu sikap tertentu yang jelas dan unik. Ibarat fisik penulis itu sendiri, ia bisa saja memiliki organ yang serupa dengan organ tubuh orang lain, tetapi yang jelas, ia berbeda dari siapa pun. Ia tidak akan pernah sama dengan orang lain.

Harus tertanam sebuah kesadaran bahwa Tuhan telah menciptakan manusia dalam wujud yang unik. Ia tidak sama dengan orang lain, dan orang lain tidak sama dengan dia. Ia merupakan suatu unikum. Setiap individu adalah unik, memiliki ciri kepribadian sendiri. Karena itu, memiliki sikap yang jelas dan menyadari perbedaan dirinya dengan orang lain akan membentuk sikap percaya diri, sehingga selalu terdorong dan yakin atas keunikan dirinya.

Secara praktis harus diyakini pula bahwa keunikan diri itu, tidak dapat disamakan dengan keunikan yang dimiliki orang lain, tentu dengan caranya sendiri. Hal ini yang akan selalu mendorong seseorang untuk belajar menuangkan gagasan dalam wujud tulisan, sehingga tidak lagi ada rasa “tidak pede” untuk selalu berlatih menulis.

Monday 17 May 2010

HARI Buku Nasional



Memperingati HARI Buku Nasional

By: Muhammad Zaini

HARI buku nasional yang diperingati pada tanggal 17 Mei 2010, setidaknya dijadikan momentum untuk membangkitkan kesadaran dan komitmen agar manjadikan buku sebagai menu prioritas dalam peningakatan kualitas dan aktualisasi diri.

Kita bisa melihat negara-negara maju di dunia, seperti Jepang, Amerika, Korea dan lainnya, sejerah kemajuan mereka berawal dari cinta buku dan ketekunan membaca. Mereka tidak pernah puas dengan kemajuan yang telah diraih, sehingga mendorong mereka untuk selalu membaca dan menggali banyak ilmu dan pengalaman.

Embrio kemajuan apapun adalah bersumber dari kegemaran membaca. Bangsa yang mampu menguasai dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sama sekali tidak lepas dari kebiasaan dan budaya membaca. Kini, sudah tidak ada lagi sekat orang bodoh dan pandai, tetapi yang ada adalah orang yang cepat mengakses informasi melalui membaca, dan orang yang lambat mengakses informasi dengan indikasi rendahnya minat baca.

Kenyataan dapat dibuktikan bahwa buku sesungguhnya dapat menjadi kunci perubahan, baik perubahan diri, karakter maupun secara makro perubahan dunia. Inilah sebabnya buku sering disebut sebagai jendela peradaban dan perubahan. Karena dari bukulah peradaban dapat bergerak maju dan dinamis, dan dari buku pula entitas peradaban menjadi redup ketika buku tidak lagi menjadi menu prioritas, dan bahkan diabaikan begitu saja.

Awal kemajuan bangsa, terutama bagi negara industri maju, ternyata mereka memiliki rata-rata membaca selama delapan jam per hari, sedangkan di negara berkembang, termasuk Indonesia, hanya dua jam setiap hari (UNESCO, 2005). Padahal bila kita kembali pada Al-Quran, yang nota bene pedoman hidup umat Islam, ayat al-Quran yang pertama kali turun sudah berupa perintah membaca (iqra).

Karena itu, mambaca adalah bagian dari sunnatullah untuk meraih kamajuan. Membaca harus menjadi modal dan gerbang utama dalam pendidikan untuk menguasai informasi. Dengan memahami ayat-ayat Allah, baik yang qauliyah (Alquran dan Hadis) maupun kauniyah berupa alam semesta beserta segenap isinya, sebisa mungkin dapat manjadi pesan moral untuk mebangkitkan gairah membaca.

Buku yang merupakan sarana terpenting suatu bangsa sebagai media untuk menyerap informasi terutama bagi proses pendidikan mulai tingkat TK sampai perguruan tinggi (PT) saat ini dinilai kurang menumbuhkembangkan minat untuk membacanya.

Kurangnya minat baca dibuktikan dengan indeks membaca masyarakat Indonesia saat ini yang baru sekitar 0,001, artinya dari seribu penduduk, hanya ada satu orang yang masih memiliki minat baca tinggi. Angka ini masih sangat jauh dibandingkan dengan angka minat baca di Singapura.

Indeks membaca di negara itu mencapai 0,45. Selain itu berdasarkan survei UNESCO, budaya baca masyarakat Indonesia berada di urutan ke-38 dari 39 negara dan merupakan yang paling rendah di kawasan ASEAN. Semoga HARI buku nasional 2010 mampu menggugah kesadaran untuk menjadikan buku dan budaya baca sebagai agen perubahan dan kamajuan.