Saturday 23 April 2011

Profesionalisme

MENEGUHKAN KOMPETENSI PROFESIONALISME GURU
(Sinergitas antara Mengajar dan Mendidik)
Oleh: Muhammad Zaini
Mendidik dan mengajar adalah dua entitas yang berbeda satu sama lain. Tetapi dalam praktik nyata, keduanya sulit dibedakan, dan tidak bisa dipisahkan secara diametral. Seringkali guru kehilangan kesadaran untuk melakukan praktik keduanya secara seimbang (balanced). Salah satu faktor ketidakseimbangan antara ranah mengajar di satu sisi, dan ranah mendidik di sisi lain adalah karena keduanya terkadang dipahami sebagai sesuatu yang identik.
Ekuilibrium antara Tugas Mengajar dan Mendidik
Secara umum mengajar adalah menyajikan ide, problem atau pengetahuan dalam bentuk yang sederhana sehingga dapat dipahami oleh peserta didik. Tugas mengajar dalam pemahaman ini bisa dikatakan berhasil apabila peserta didik benar-benar mampu menyerap materi pelajaran yang disampaikan oleh guru secara terukur yang dapat dibuktikan dalam bentuk hasil evaluasi. Dalam konteks ini, target utama tugas formal pengajaran adalah menunjukkan kompetensi peserta didik yang hanya diukur dari sisi “pintar”-nya (kognitif) saja.
Bagaimana dengan tugas mendidik? Mendidik sering dimaknai sama dengan mengajar. Memang, tidak bisa disangkal bahwa proses mendidik salah satunya dapat dilakukan dengan cara mengajar secara formal. Namun demikian, proses-proses formal pengajaran di dalam kelas tidak dapat dikatakan selalu mencerminkan proses ke arah mendidik. Kerana, dalam mendidik melibatkan banyak komponen yang terrepresentasi dalam wujud keteladanan (exemplary) seorang guru sebagai faktor penting, sehingga ia harus manjadi sumber panutan (source of model) yang dapat digugu dan ditiru. Guru lihai dalam mengajar, tetapi bisa jadi buta akan arti sebuah keteladanan.
Dalam tugas mengajar, boleh jadi guru dapat menunaikannya penuh piawai dengan berbagai ragam metode yang dimiliki. Tetapi adakah korelasi dengan kemampuan memberikan keteladanan berupa penanaman nilai-nilai kejujuran, amanah, tepat waktu, kerja keras, taat kepada orang tua, etos kerja, taat kepada sistem dan peraturan, berperilaku sehat, senang menolong, pandai bersyukur, mandiri, senang beribadah dan lain-lain. Dalam ranah psikologi nilai-nilai tersebut adalah bagian dari proses afektif yang harus digali sebagai kompetensi pengembangan sikap dan perilaku.
Bagaimanapun harus diakui bahwa peserta didik dalam proses belajar mengajar di kelas tidak saja sekadar dipahami mampu berinteraksi melakukan upaya penerimaan dan transfer pengetahuan (transfer of knowladge). Peserta didik di dalam menyerap pengetahuan, tentu tidak bisa lepas dari proses transfer of imitation yang diekspresikan guru dalam bentuk sikap, prilaku, dan tindakan. Masih segar di dalam ingatan kita tentang adagium klasik “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Jika dicermati dengan baik dan seksama adagium tersebut mengandung makna cukup mendalam yang berarti bagaimana seorang guru harus mengiramakan antara kata dan laku secara seimbang dan padu.
Dengan demikikan, dalam praktik proses belajar mengajar peserta didik memiliki potensi menangkap secara simultan antara pengetahuan yang disampaikan oleh guru sebagai teaching competence di satu sisi, dan tindakan dan perilaku sebagai behavioral competence bagi guru di sisi lain. Disadari atau tidak, hal-hal yang berkaitan dengan kata, sikap dan perilaku guru sesungguhnya secara intrinsik terserap dalam bawah sadar mereka, yang kemudian secara integral terejewantah dan terinternalisasi dalam prilaku sehari-hari. Model pendidikan semacam inilah yang menjadi semangat profetik risalah kenabian Muhammad SAW., yaitu kesatuan antara ucapan, kata dan perbuatan, yang keduanya berjalan seimbang berada dalam realitas riil yang dapat dicontoh dan diserap oleh segenap peserta didik sebagai wujud keteladanan.
Menumbuhkan Kreatifitas Peserta Didik yang Berkarakter
Paradigma pembelajaran berbeda dari paradigma pendidikan. Suatu hal yang diperlukan dalam unsur “mendidik”, berkaitan dengan penanaman nilai-nilai moral keagamaan adalah kemampuan guru untuk menyentuh dan menyapa keseluruhan dan keutuhan pribadi peserta didik. Upaya ini diwujudkan sebagai salah satu jalan bagi guru untuk mewujudkan dan menumbuhkan kesadaran keteladanan kepada segenap peserta didik. Dengan begitu, semestinya paradigma pendidikan seharusnya lebih tajam diarahkan pada rangsangan untuk melahirkan suatu “kehendak/keinginan” dan “motivasi” pada diri peserta didik dan bukan semata-mata penajaman pada sisi intelektualitas.
Dalam kaitan ini, untuk mengimbangi proses belajar-mengajar dan mendidik yang perlu dipahami terlebih dahulu oleh para pendidik adalah struktur kepribadian peserta didik. Pengenalan dan pemahaman terhadap struktur kepribadian peserta didik diperlukan untuk melakukan proses penyelaman terhadap kejiwaan mereka agar dapat lebih mudah mananamkan nilai-nilai yang dapat membentuk suatu perilaku. Berbagai potensi yang melekat pada struktur kepribadian mereka perlu disentuh dan digerakkan secara menyuluruh yang meliputi antara lain emosi, rasio, imajinasi, memori, kehendak, motivasi, dan kecenderungan-kecenderungan.
Keberhasilan menyentuh seluruh komponen tersebut di atas sebagai salah satu indikator keberhasilan proses mendidik yang akan melahirkan satu motivasi dan kehendak pada diri peserta didik untuk berbuat apa saja sesuai dengan bakat dan prestasi masing-masing. Tergeraknya seluruh komponen struktur tubuh yang terdapat di dalam diri peserta didik dimungkinkan mengarah pada satu pilihan yang dihiasi oleh dorongan hati nurani yang tampak ke permukaan dalam bentuk perilaku lahiriyah, berupa ragam kreatifitas yang secara bertahap tumbuh dan berkembang jenis keterampilan yang terkuak dari dalam diri peserta didik.
Jadi, mengajar dan sekaligus mendidik dapat melahirkan perilaku lahiriyah yang santun, berwawasan pengetahuan dan keterampilan, baik dalam bentuk ekspresi wajah atau raut muka (senyum, peduli, ramah), gerak-gerik, tutur bicara yang santun dan dorongan untuk selalu berkreasi. Di sinilah akan tercipta suatu bentuk kreatifitas bagi diri peserta didik dengan memiliki keteguhan mentalitas dan kepribadian yang berkarakter.
Namun demikian, guru tidak bisa lepas dari tugas kewajiban mengajar secara formal misalnya, guru harus memenuhi beberapa standar yang meliputi: (1) penyusunan rencana pembelajaran, (2) pelaksanaan interaksi belajar mengajar, (3) penilaian prestasi belajar peserta didik, (4) pelaksanaan tindak lanjut hasil penilaian prestasi belajar peserta didik, (5) pengembangan profesi, (6) pemahaman wawasan kependidikan, dan (7) penguasaan bahan kajian akademik (sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan). Paling tidak, komponen-komponen tersebut manjadi standar ideal-formal bagi guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar yang harus dipahami sebagai standar proses kinerja secara profesional.
Karena itu, tugas guru sebagai pengajar dan pendidik harus melekat secara kombinatif sebagai satu kesatuan kompetensi dan profesionalisme guru. Menjadi guru walaupun tidak bisa tampil sebagai sosok manusia sempurna, tetapi secara sistem ia dituntut untuk menjadi sumber pengetahuan yang mampu memecahkan permasalahan peserta didik yang tidak saja berkaitan dengan proses pembelajaran. Tetapi, kompetensi guru juga merupakan kombinasi kompleks dari pengetahuan, sikap, keteladanan, keterampilan, dan nilai-nilai yang harus ditunjukkan oleh guru dalam sistem kerja dan tugas kepengajaran. Dalam praktik nyata, guru harus mampu menyelami kejiwaan peserta didik yang menyatu dalam kehidupan mereka sehari-hari di lingkungan sekolah.

0 komentar: