Kontekstualisasi Hijrah
Berbicara
tentang hijrah diingatkan pada sebuah peristiwa Agung yang dilakukan oleh
Rasulullah yaitu berpindahnya beliau dari Makkah ke Madinah, sesuai
dengan perintah Allah untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Namun,
dalam kehidupan kekinian kata hijrah harus dimaknai ulang dan
dikontekstualisasi agar lebih fungsional dan mengakar dalam kehidupan manusia.
Hijrah dalam era kekinian dapat dipahami sebagai bentuk transformasi di seluruh
lapisan masyarakat.
Karena ada proses transformasi maka hijrah tidak saja dipahami
perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain, tetapi pemaknaannya tidak
semata-mata diukur dengan jarak misalnya, antara Makkah-Madinah, lebih dari
itu, hijrah adalah perpindahan dinamis yang mengandaikan
adanya kesadaran untuk meninggalkan perilaku tercela menuju perilaku yang
utama.
Peristiwa hijrah menurut Mahfud MD adalah upaya memilih strategi untuk
melakukan perlawanan politik terhadap perpolitikan kaum jahiliyah yang zalim
dan tidak adil. Sehingga dalam konteks sekarang, jika kita hendak mengambil
hikmah dari hijrah secara politik, maka kita harus melawan segala bentuk
ketidakadilan dan kesombongan kekuasaan.
Sedang Cendekiawan Muslim, Prof. Azyumardi Azra berpendapat bahwa hijrah
semestinya menjadi momentum umat Islam untuk memperkuat tekad hijrah dari sikap
hidup yang koruptif ke hidup dengan integritas yang bebas dari berbagai bentuk
kemaksiatan. Kasus yang kian marak saat ini seperti korupsi, miras dan narkoba,
seharusnya menjadi pembelajaran kedepan agar perjalanan umat Islam Indonesia
sebagai bangsa semakin lebih baik.
Dalam konteks kebangsaan umat Islam harus meningkatkan kualitas Iman,
Islam dan Ihsan guna mengaktualisasikan kesalehan personal menjadi kesalehan
sosial. Hanya dengan begitu umat Islam dapat mewujudkan Islam sebagai rahmatan
lil 'alamin. Hilangnya kesalehan sebagian umat Islam saat ini, telah dipicu
sebagian umat hanya saleh secara personal.
Rajin melakukan macam-macam ibadah, tapi itu hanya berlaku di masjid.
Ketika di luar itu, sikap mereka tidak saleh, tidak takut pada Allah
dengan melakukan korupsi dan maksiat-maksiat lain. Seharusnya menjadi Islam
tidak hanya di masjid, tapi juga di pasar, di kantor, di jalan raya dan
sebagainya. Di sinilah hijrah menemukan momentum yang cukup baik untuk diambil
hikmah sebagai pijakan dasar melakukan perbaikan diri, menumbuhkan integritas
bangsa, dan mengembangkan perilaku utama agar muncul budaya santun, teratur,
adil, sejahtera dan makmur.