Sunday 25 April 2010

Mengenal Diri Menuju Jalan Kesalehan Publik
Oleh: Muhammad Zaini

Mengenal diri memang tidak semudah membalik kedua telapak tangan. Setiap orang pasti mendambakannya. Dalam proses menuju “mengenal diri” itu , masing-masing orang akan mengalami ragam kerumitan-kerumitan dan kegelisan tersendiri.

Bahkan dapat dipastikan cita-cita ke arah itu merupakan panggilan “nurani” yang terdalam. Sedang wilayah nurani sama sekali tidak dapat dipungkiri dan diingkari. Walaupun terkadang kebanyakan orang abai dan bersikap “cuwek” terhadap penggilan mulya tersebut, tetapi yang jelas, paling tidak ia akan merasakan detakan-detakan panggilan ke arah wilayah nurani tersebut.

Panggilan dan kesadaran nurani untuk selalu melakukan koreksi diri menuju cita “mengenal diri” sesungguhnya sudah inheren dalam diri manusia itu sendiri. Artinya, secara natural setiap manusia dengan keinginan “mengenal diri” memiliki potensi besar untuk menjadi orang baik dan berkesadaran positif, sebab “mengenal diri” otomatis bersinggungan dengan wilayah nurani.

Kenyataan bahwa banyak tindakan manusia yang amoral dan destruktif, sejatinya bukan kehendak nurani manusia, melainkan karena sedemikian kukuh-nya “ke-ego-an” yang mendarah dalam dirinya. Rasa ego itu menggumpal menjadi noda hitam hingga menutupi panggilan bisikan nurani. Memang terdapat sebuah firman Tuhan menyatakan bahwa “setiap jiwa memiliki dua kecenderungan yaitu, berpotensi bertindak jahat (fujur) dan baik (taqwa)”.

Lalu, apakah kecenderungan jahat itu juga bagian dari penggilan nurani. Untuk menjawab pertanyaan sederhana ini perlu menilik ulang peran akal/nalar yang salah satu fungsinya sebagai media konsideran dalam menentukan pilihan antara potensi fujur (tindakan jahat) di satu sisi dan potensi taqwa (tindakan positif) di sisi lain.

atau Download di sini.....

Sudah barang tentu, keberadaan akal sehat tidak mungkin berkecenderungan apalagi berpihak pada yang fujur. Dalam konteks ini semangat firman Tuhan di atas, dapat dimediasi dengan letak fungsi akal yang berperan sebagai upaya menjembatani dua kecenderungan potensi yang dimiliki oleh manusia.

Mengapa akal/nalar selalu berpihak pada hal-hal yang dipandang baik. Dalam hal ini, terdapat beberapa kontroversi. Bagi kalangan mu’tazilah, akal bisa tegak menentukan pilihan baik (taqwa) dan baruk (fujur) secara independen. Sedangkan bagi kelompok yang lain, Asy’ariyah misalnya, akal dapat memainkan peran dan fungsinya melalui media “suara langit” (wahyu). Di sini bukan tempatnya menguraikan kontroversi teologis ini secara panjang lebar.

Terlepas dari semua kontroversi itu, yang pasti, dalam strukur tubuh manusia ada potensi nalar dan intuisi. Tentu keduanya satu sama lain beroperasi secara kait mengait. Keduanya tidak bisa diceraikan dengan mengabaikan yang satu dan lebih memedulikan yang lain.

Nalar sebagai wahana cerdik mempertegas penentuan pilihan, sedang intuisi merupakan suara bawah sadar yang gandrung pada kebaikan dan kebajikan universal semisal, sikap adil, jujur, terbuka, cinta damai, amanah, kreatif, kepemurahan untuk saling memaafkan, empati, bijaksana, lembut, santun, berhati teguh dan sabar.

Pada perkembangannya, jika nilai kebajikan universal di atas terasah dan menjadi bagian landasan hidup sehari-hari, maka akan menjadi pusat spritual yang berpengaruh kuat terhadap kesuksesan seseorang, apapun bentuk kesuksesan itu.
Sebagai ejawantahnya, tentu proses “mengenal diri” harus diinternalisasikan dalam cakupan yang lebih luas. Jadi, sukses mengenal diri itu diupayakan dapat menjadi sumber inspirasi “mengenal sesama” untuk meraih kebajikan yang lebih tinggi yaitu, kebajikan publik.

Lebih jauh, naluri spritual yang semula menjadi wilayah privat dapat bertindak lanjut menjadi naluri publik dengan mencerminkan pengenalan terhadap sesama yang lintas etnis, budaya, bahasa, sekte dan bahkan agama.

Dalam konteks makro misalnya, proses mengenal diri dapat menjadi wahana transformatif dalam kehidupan bernegara yang di dalamnya beragam etnis, agama, aliran keagamaan dan ragam budaya. Sebab jika kesuksesan mengenal diri hanya sebatas berhasil pada tingkat internal-individual dan semata-mata cenderung sekadar self-regulation (mengatur diri sendiri) , maka kesuksesan itu sekadar berlingkar pada ranah naluri personal (personal instinct), belum menyentuh pada tingkan naluri publik (public instinct).

Namun demikian, nilai-nilai kebajikan itu boleh jadi berujung kegagalan, apabila bertumpang tindih dengan “kepentingan lain”. Sekadar sebagai contoh, militansi keagamaan dengan kedok jihad di jalan Allah (jihad fi sabilillah), misalnya yang tercermin dalam fatwa MUI berkait dengan upaya pemberarangusan hubungan antar agama dan hak hidup suatu aliran dalam agama tidak akan menuai hasil baik, bahkan justru menjadi sumber konflik yang berkepanjangan.

Pertama, Ahamadiyah adalah golongan di luar Islam dan disebut sesat, serta pengikutnya di-claim sebagai orang-orang yang murtad. Kedua, paham pluralisme, sekularisme, liberalisme dinyatakan bertentangan dengan Islam dan umat Islam haram mengikutinya.

Paling tidak, dengan dikeluarkannya fatwa MUI tersebut terdapat dua bahaya yang akan melilit tubuh MUI secara khusus dan umat Islam secara umum. Pertama, penjegalan atas Ahamadiyah berarti menghilangkan tumbuh suburnya pluralism aliran dan kebebasan berkeyakinan dan beragama. Kedua, mengundang dan memicu timbulnya perselisihan yang berujung pada kerentanan konflik yang tak berkesudahan.

Di samping itu, fatwa yang dikeluarkan MUI bukan sekadar tidak efektif, tetapi justru malah menurunkan wibawa MUI itu sendiri. Ini juga mengindikasikan bahwa di samping membendung lahirnya kebebasan dan demokratisasi, MUI juga menjadi bukti kuat atas ketergadaiannya dalam wilayah naluri publik. Lebih jauh MUI sebagai representasi keagamaan tidak akomudatif dengan kepentingan seluruh umat.

Memang, momentum berjuang di jalan Allah di atas, merupakan semangat keagamaan yang pada prinsipnya segenap umat Islam memiliki tugas obligatif guna senantiasa melestarikan semangat jihad itu. Tetapi karena semangat jihad tersebut bercampur baur dengan kepentingan ideologis, doktrin kegamaan, dan gelora keagamaan yang berlebihan, maka jihad yang semula mesti membuahkan kebajikan semesta, justru malah sebaliknya yaitu, menjadi semakin merebakkan kerusakan dan melahirkan potensi konflik yang semakin menajam.

Berkait dengan hal di atas, kiranya perlu direnungkan kembali firman Tuhan, yang artinya “ sungguh sangat jelas antra petunjuk dan kesesasatan (qat tabayyana al-Rusyd min al-Ghai). [emzed]


atau Download di sini >>>>>>>>>>>>>>>

0 komentar: